Harian Fajar, 06 Sept 2007 
Asas Good Governance Harus Jadi Rujukan KTUN
 

KEPUTUSAN Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan salah satu pilar penting dalam penggunaan wewenang pemerintahan, khususnya penyelenggaraan pemerintahan oleh pejabat Tata Usaha Negara dalam mewujudkan pelayanan publik. KTUN sebagai instrumen pemerintahan dalam melakukan tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri urusan kehidupan sosial ekonomi warga. 


Bagaimana implementasi KTUN selama ini dan dapatkah KTUN tersebut menjamin pelaksanaan good governance oleh pemerintahan yang memiliki kewenangan sepihak? Berikut wawancara wartawan Fajar, Anggi S. Ugart, dengan guru besar Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perburuhan Unhas yang juga Dekan Fakultas Hukum Unhas, Prof Dr Syamsul Bachri, SH,MH, di ruang kerjanya, Rabu 5 September:

* Keputusan Tata Usaha Negara atau KTUN sebagai salah satu sarana penyelenggaraan pemerintahan. Bisa Anda jelaskan fungsi KTUN itu sendiri?

KTUN salah satu instrumen penyelenggaraan pemerintah. Sebenarnya masih banyak sarana lain, salah satunya peraturan perundangan, hukum privat. Yang sangat penting dan urgen dipersoalkan adalah KTUN. Karena KTUN adalah salah satu produk yang dibuat pejabat TUN dalam rangka mendinamisasi penyelenggaran pemerintahan, terutama kebutuhan-kebutuhan menjalankan fungsi kewenangan masing-masing pejabat.

KTUN sebenarnya terkait dengan masalah mutasi, kepangkatan, penugasan-penugasan. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menarik perlu dipahami. Pertama adalah keputusan ini kan bersumber dari kewenangan.Jadi ada kewenangan yang bersumber secara atributif, artinya adanya penyerahan kewenangan sekaligus di dalamnya melekat tanggung jawab.

Kalau ada pejabat KTUN, dia harus pahami betul apakah bersumber secara atributif atau bukan. Karena jangan sampai berimplikasi pada pihak lain. Karena ada juga penyerahan kewenangan, artinya kewenangan beralih tapi tanggung jawab tidak beralih. Nah, ini yang berbahaya.

Jika penerima kewenangan itu lalu menimbulkan kerugian terhadap negara lalu menimbulkan pertanggungjawaban hukum, maka atasan pun juga dilibatkan sekalipun atasan tidak melakukan sesuatu. Ini konsekuensinya.

Sekarang kan kebijakan-kebijakan yang berimplikasi terhadap korupsi. Banyak pejabat yang mengatakan bahwa saya tidak mengambil satu sen, kenapa dituduh korupsi. Karena ada kewenangan yang diserahkan pada orang lain, tapi tanggung jawab tidak ikut melekat.

*Mungkin karena salah interpretasi?

Ya, selain karena salah interpretasi, kadang-kadang yang memperoleh kewenangan itu memperluas kewenangannya sendiri. Atau melebihi dari batas-batas lingkup kewenangan yang diserahkan. Ada kasus di Sulsel, tapi saya tidak bisa ungkapkan.

Ada juga pelimpahan kewenangan secara delegasi, yakni kewenangan diserahkan kepada salah satu organ atau badan tapi sekaligus melekat juga tanggung jawabnya, misalnya kebijakan otonomi daerah. Pemerintah daerah bertanggung jawab dalam mengurus urusan rumah tangganya. Sepanjang kewenangan-kewenangan itu yang dilimpahkan.

Jadi ada implikasi jika membuat surat keputusan, baik kewenangan atributif, delegasi maupun bersumber dari penyerahan kewenangan secara mandat. Pertanggungjawabannya berbeda.

* Lantas, bagaimana mengukur apakah suatu keputusan Tata Usaha Negara itu sudah tepat atau tidak?

Hal pertama yang harus kita harus lihat,syarat pembuatan keputusan itu. Suatu keputusan itu sah menurut hukum jika memenuhi dua syarat. Yakni, pertama adalah syarat formal yang terkait prosedur.Apakah pembuatan keputusan tersebut sudah sesuai prosedur dalam ketentuan perundang-undangan atau tidak.

Kedua, syarat kewenangan yang terkait apakah yang membuat keputusan itu ada kewenangannya dan bersumber darimana kewenangan itu. Di dalam surat keputusan itu ada dasar hukum yang dicantumkan yang menyebut aturan-aturan yang memberi kewenangan kepada pejabat tersebut dalam membuat suatu keputusan.

Ada juga syarat materil, atau subtansinya. Artinya norma atau pasal-pasalnya.Tidak boleh ada norma dalam suatu surat keputusan yang mengandung cacat yuridis atau penipuan atau kesesatan saja. Soal alasan mutasi misalnya, untuk meningkatkan kinerja padahal rasa tidak suka.

Jadi surat keputusan tidak ditetapkan aturan-aturan yang jelas bisa berbahaya. Karena bisa menghitam putihkan nasib orang. Pimpinan bisa mutasi bawahan yang tidak disukainya.

Syarat lainnya adalah KTUN dalam rangka memberikan pelayanan publik. Misalnya, suatu surat keputusna tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Jadi, ada yang mengontrol, yakni asas-asas hukum. Misalnya profesionalisme, proporsionalitas, transparansi, akuntabilitas, tertib penyelenggaraan pemerintahan dan kepastian hukum.

Logikanya, bahwa setiap produk kebijakan yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang hidup di masyarakat.

* Tapi, bagaimana implementasinya di lapangan?

Dalam implementasinya, saya melihat belum dipahami oleh sebagian aparat penyelenggara pemerintahan secara baik. Belum dijadikan suatu rujukan standar dalam penerbitan suatu keputusan. Indikatorny adalah, cukup banyak keputusan-keputusan tata usaha negara yang menjadi objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kalau kita melihat jumlah perkara yang masuk di PTUN, banyak terkait SK. Ada yang terkait SK mengenai kebendaan seperti IMB, sertifikat, izin usaha. Ini bisa dipindah tangankan ke orang lain, tinggal balik nama. Tapi namanya beschikking tidak bisa dipindahkan. Dua SK ini menjadi objek sengketa dan perkara yang banyak masuk di PTUN, terutama SK-SK bidang kepegawaian. Baik soal pengangkatan, diberhentikan, maupun dimutasi. Banyak yang tidak puas.

Itu karena tidak transparannya mengenai asas-asas dalam penerbitan keputusan TUN. Oleh karena itu, ke depan dalam pengimplementasian suatu penerbitan keputusan TUN, prinsip atau asas-asas good governance itu harus menjadi rujukan.

Misalnya asas transparansi. Ada keterbukaan prosedur, keterbukaan informasi dan register/data. Misalnya ada jabatan eselon yang lowong, kriterianya begini, jumlah sekian. Jadi ada keterbukaan. Selama ini kan belum diaplikasikan secara baik. Sehingga, masyarakat beranggapan yang penting atasan senang, itu yang dipromosikan. (sakarimba@yahoo.com)

DATA DIRI
Nama : Prof Dr Syamsul Bachri, SH, MH.
TTL   : Sinjai, 20 April 1954

Pekerjaan
:
- Staf pengajar Fakultas Hukum Unhas
- Dekan Fakultas Hukum Unhas
Alamat : Komp Perum Unhas Tamalanrea, L-14
Istri : Hj Siti Nuraeny
Anak : 1. Faizal Hafiz
          2. Nirwana Permatasari
Pendidikan:
- S1 Fakultas Hukum Unhas, 1980.
- Pra Pasca Universitas Gadjah Mada, 1981.
- S2 Pascasarjana Universitas Airlangga, 1989.
- S3 Pascasarjana Unhas, 2002
Organisasi:
- Pengurus Perhimpunan Sarjana
- Hukum Indonesia (Persahi) Makassar.
- Anggota Pengurus ICMI Sulsel.
- Anggota Majelis Pengawas Notaris Wilayah Sulsel.
- Assesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) untuk Program Pascasarjana Depdiknas Jakarta.




“Fungsi hukum memang mencari keadilan, tapi keadilan harus disertai kedamaian. Itu berlaku universal di kolong langit mana pun hukum harus ditegakkan,” tegas guru besar Fakultas Hukum Unhas ini.
Today, there have been 3 visitors (4 hits) on this page!
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free